Jakarta, 11 Juli 2019, telah dilaksanakan sidang Promosi Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat atas nama Nova Riyanti Yusuf, di Ruang Promosi Doktor, Gedung G, FKM UI, dengan Promotor Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH. Promovendus mempertahankan disertasi dengan judul “Deteksi Dini Faktor Risiko Ide Bunuh Diri Remaja di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas/ Sederajat di DKI Jakarta”.
Dokter Nova Riyanti Yusuf, SpKJ atau Noriyu (demikian ia sering disapa), dokter spesialis kedokteran jiwa yang juga merupakan kosultan WHO, meraih Sertifikat Mental Health Implementation Research saat fellowship di Harvard Medical School, anggota DPR periode 2009-2014 dan 2018-2019 sekaligus Sekjen Asian Federation for Psychiatric Associations (APFA) 2019-2021.
Dari penelitian ini, didapatkan 5% pelajar dari 910 pelajar SMAN dan SMKN akreditasi A di DKI Jakarta memiliki ide bunuh diri. Pelajar yang terdeteksi berisiko bunuh diri memiliki risiko 5,39 kali lebih besar untuk mempunyai ide bunuh diri dibandingkan pelajar yang tidak terdeteksi berisiko bunuh diri setelah dilakukan kontrol terhadap kovariat: umur, sekolah, gender, pendidikan ayah, pekerjaan ayah, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, status cerai orangtua, etnis, keberadaan ayah, keberadaan ibu, kepercayaan agama, depresi, dan stresor.
Data WHO Global Estimates 2017 menunjukkan kematian global akibat bunuh diri yang tertinggi berada pada usia 20 tahun, terutama pada negara yang berpenghasilan rendah dan menengah. Pada tahun 2016, WHO mencatat bahwa kematian pada remaja laki-laki usia 15 – 19 tahun disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, kekerasan interpersonal, dan menyakiti diri sendiri, sementara perempuan disebabkan oleh kondisi maternal dan menyakiti diri sendiri. Menurut Riskesdas 2013, pada sampel populasi usia 15 tahun keatas sebanyak 722.329, prevalensi keinginan bunuh diri sebesar 0,8% pada laki-laki dan 0,6% pada perempuan. Selain itu, keinginan bunuh diri lebih banyak terjadi di daerah perkotaan daripada di desa.
Ide bunuh diri, ancaman dan percobaan bunuh diri merupakan hal serius yang harus segera ditangani sehingga dibutuhkan langkah preventif untuk menurunkan angka kejadiannya. Untuk kasus bunuh diri pada remaja, salah satu hal penting yang dapat dilakukan yaitu deteksi dini, yang bertujuan untuk menemukan faktor risiko penyebab bunuh diri pada remaja.
“Dalam penelitian ini ditemukan beberapa faktor risiko yaitu pola pikir abstrak yang menimbulkan perilaku risk-taker, transmisi genetik yang dapat menimbukan sifat agresif dan impulsif, memiliki riwayat gangguan jiwa lain, lingkungan sosial yang tidak mendukung, dan penyalahgunaan akses internet yang merupakan beberapa alasan remaja memiliki ide bunuh diri,” jelas dr.Nova yang pada saat menjadi anggota DPR periode 2009-2014 yang mensukseskan terbitnya UU Kesehatan Jiwa.
Ia menambahkan, “Penelitian ini terinspirasi oleh kompleksitas siklus hidup fase remaja yang diharapkan sebagai generasi penerus bangsa. Pada fase remaja terjadi perkembangan yang ditandai oleh perubahan fisik, psikologis, kognitif, dan sosial. American Academy of Child and Adolescent Psychiatry membagi fase remaja menjadi tiga, yaitu 1) Early Adolescence (11 – 13 tahun), 2) Middle Adolescence (14 – 18 tahun), dan 3) Late Adolescence (19 – 24 tahun). Fase middle adolescence adalah fase yang sangat rentan karena remaja berpikir secara abstrak tetapi juga mempunyai keyakinan tentang keabadian (immortality) dan kedigdayaan (omnipotence) sehingga mendorong timbulnya perilaku risk-taking.”
“Pada fase risk taking ini, remaja lebih memiliki pola pikir abstrak sehingga dapat tertantang untuk mencoba segala hal, termasuk ke arah pola hidup yang tidak baik, seperti penggunaan tembakau dan alkohol, bereksperimen dengan narkotika, psikotropika dan zat adiktif, aktivitas seksual yang tidak aman, pola makan yang buruk, dan kenakalan remaja (Centers for Disease Control and Prevention, 2010). Perilaku risk-taking akan berdampak terhadap morbiditas, fungsi, dan kualitas hidupnya pada saat dewasa. Tentunya jika remaja tersebut tidak berakhir pada mortalitas (kematian prematur) akibat perilaku risk-taking tersebut. Beban morbiditas dan mortalitas akibat non-communicable disease telah meningkat di seluruh dunia dan sangat cepat perkembangannya di negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah, sementara beban akibat penyakit menular mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan urgensi untuk dilakukan langkah preventif deteksi dini faktor risiko ide bunuh diri di remaja,” lanjutnya.
Upaya awal yang telah dilakukan di Indonesia adalah pengembangan instrumen untuk mengukur risiko bunuh diri pada orang dewasa. Instrumen tersebut diberi nama Evaluasi Pelayanan Kasus Kesehatan Jiwa (EPK2J) yang dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan. Namun, penelitian EPK2J menggunakan instrumen yang ditujukkan kepada orang dewasa dan secara teoritis dan empiris dapat disimpulkan bahwa penilaian risiko bunuh diri remaja berbeda dengan kelompok umur lainnya karena adanya perbedaan perkembangan antara remaja dan kelompok umur lainnya. Dengan kata lain, instrumen yang digunakan harusnya berbeda. Oleh karena itu, dengan berbagai pertimbangan di atas peneliti memutuskan untuk memodifikasi instrumen EPK2J yang diperuntukkan bagi orang dewasa. Instrumen EPK2J yang dikembangkan oleh Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan mempunyai 5 dimensi sebagai hasil modifikasi 5 instrumen (Kementerian Kesehatan, 2016), yang kemudian mengalami perkembangan lagi pada penelitian ini, menjadi 4 dimensi dengan 16 item pertanyaan.
Untuk pencegahan, Pemerintah telah banyak melakukan program sebagai langkah preventif seperti Program Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) dan Konselor Sebaya, Rapor Kesehatanku, Usaha Kesehatan Sekolah dengan beberapa jalur intervensi atau penanganan masalahnya, Poskestren, Sekolah Ramah Anak (SRA), Program kesehatan jiwa berbasis sekolah, dan Program di FKTP.
Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya, diantaranya penelitian lanjutan terkait pemanfaatan instrumen secara individual tentang stigma bunuh diri dan hubungan sikap impulsifitas remaja terhadap bunuh diri. Di samping itu, juga penelitian pengembangan pemanfaatan instrumen deteksi dini faktor risiko ide bunuh diri di wilayah rural dan bagi pelajar SMP, bahkan pengembangan instrumen stresor psikososial. Implementasi instrumen dalam berbagai program kesehatan jiwa berbasis sekolah akan bersumbangsih pada upaya promotif dan preventif di lingkungan pendidikan sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.
Dengan hasil disertasinya, promovendus Nova Riyanti Yusuf dinyatakan sebagai Doktor dalam Bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat dengan yudisium sangat memuaskan. Nova Riyanti Yusuf menjadi lulusan S3 Ilmu Kesehatan Masyarakat ke 208 dan lulusan S3 FKM yang ke 271.