HIV-AIDS merupakan masalah epidemik global yang melanda seluruh dunia tanpa mengenal batas negara dan semua lapisan penduduk, termasuk Indonesia. Pada tahun 2018, Indonesia merupakan negara dengan jumlah kasus terbanyak dikawasan Asia Pasifik setelah Cina dan India serta tertinggi untuk jumlah kasus baru terinfeksi HIV di kawasan Asia Tenggara.
Upaya penanggulangan HIV-AIDS di lakukan melalui strategi fast track 90-90-90: Percepatan pencapaian 90% dari orang yang hidup dengan HIV (ODHA) mengetahui status HIV mereka melalui tes atau deteksi dini; 90% dari ODHA yang mengetahui status HIV untuk memulai terapi pengobatan ARV dan 90% ODHA yang dalam pengobatan ARV telah berhasil menekan jumlah virusnya sehingga mengurangi kemungkinan penularan HIV. Di Indonesia rekomendasi WHO untuk 90% pertama diadaptasi dengan temuan kasus HIV. Strategi ini melibatkan peran aktif multipihak dari berbagai lintas sektor baik pemerintah maupun masyarakat termasuk mereka yang terinfeksi dan terdampak. Akan tetapi, berdasarkan data dari kementerian kesehatan pada tahun 2016 diperkirakan akan ada 640.443 orang dengan HIV-AIDS di Indonesia, sementara yang baru dilaporkan sampai dengan Desember 2019 sebanyak 377.564 (60,7%), sehingga masih terdapat 30% GAP untuk pencapaian 90% pertama.
Persoalan inilah yang menjadi fokus penelitian Balqis yang dipaparkan dalam sidang promosi doktor Universitas Indonesia yang dilakukan secara daring, Selasa (28/07/2020), dengan judul disertasi “Peran Kolaborasi Lintas Sektor Terhadap Kinerja Progam Pencegahan dan Penanggulangan HIV-AIDS di Provinsi Sulawesi Selatan”. Sidang yang dipimpin oleh Promotor Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH., Dr.PH, dan Ko-Promotor dr. Kemal N Siregar, SKM., MA., Ph.D tersebut menjawab persoalan kolaborasi berbagai sektor khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan dalam pencapaian 90% pertama yaitu temuan kasus ODHA. Apakah peran kolaborasi lintas sektor dapat meningkatkan kinerja program pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS?
Promovendus menggunakan indikator yang telah dikembangkan melalui tahap kualitatif dengan melibatkan beberapa kementerian dan KPAN serta masukan dari berbagai pakar kebijakan kesehatan dan pakar dibidang HIV-AIDS. Kemudian dilakukan pengukuran untuk melihat kinerja lintas sektor dalam penanggulangan dan pencegahan HIV-AIDS di Provinsi Sulawesi Selatan, dimana sampel yang terkumpul sebanyak 328 orang yang merupakan keterwakilan dari 24 lembaga untuk 17 Kabupaten/Kota. Promovendus mengemukakan inti dari kolaborasi bagaimana mencapai tujuan bersama meskipun dari sudut pandang yang berbeda-beda. Kelemahan terbesar dari sistem kolaborasi penanganan HIV-AIDS adalah aturan yang dikeluarkan oleh pemda tidak dipahami oleh sebagian lembaga yang berkolaborasi, juga tidak menyebutkan secara spesifik terkait tujuan dari kolaborasi itu sendiri serta tidak jelas peran masing-masing sektor dalam pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS. Ketidakjelasan diperparah dengan tidak adanya control dan evaluasi terhadap aturan tersebut. Hal ini menyebabkan lembaga yang berkolaborasi merasa tidak bertanggungjawab terhadap program P2 HIV-AIDS dan berujung kepada tanggungjawab dari Dinas Kesehatan sebagai pemegang tupoksi utama. Peran dari Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS sebagai koordinator lintas sektor P2 HIV-AIDS tidak berjalan maksimal dalam monitoring kebijakan yang ada, lemahnya skill advokasi dan komunikasi KPA kepada lembaga-lembaga yang berkolaborasi, dimana ego sektoral dari masing-masing lembaga masih sangat tinggi. Sedangkan berjalannya program pada masing-masing sektor merupakan indikator yang memiliki kontribusi terbesar dalam terhadap temuan kasus.
Balqis yang merupakan staf pengajar di Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin ini menyarankan agar pertemuan koordinasi lintas sektor dapat ditindaklanjuti dengan melakukan montoring dan evaluasi sehingga terjadi sustainability program, melakukan advokasi dan komunikasi secara terus menerus kepada lembaga-lembaga yang berkolaborasi serta alat yang menjadi temuan dalam penelitian ini yaitu instrumen kolaborasi lintas sektor dapat dijadikan acuan untuk evaluasi rutin dalam mengukur keberhasilan lintas sektor program P2 HIV-AIDS.
Berdasarkan hasil disertasinya tersebut, Balqis berhasil dinyatakan lulus sebagai Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat dengan predikat sangat memuaskan.