Di Jakarta, Kondisi Sosiodemografi dan Kesehatan Lingkungan Sangat Berpengaruh terhadap Kejadian COVID-19

Di Jakarta, Kondisi Sosiodemografi dan Kesehatan Lingkungan Sangat Berpengaruh terhadap Kejadian COVID-19

Nama Penulis : Dr. Anis Zakianis, SKM, M.Kes, dkk

Judul : Sociodemographic and environmental health risk factor of COVID-19 in Jakarta, Indonesia: An ecological study

Terbit di : Jurnal . One health (Amsterdam, Netherlands), 13, 100303.(Q1 SJR)

Link : https://doi.org/10.1016/j.onehlt.2021.100303

 

COVID-19 adalah penyakit yang disebabkan karena Corovirus 2 (SARS-CoV-2). Sejak Desember 2019, pandemi COVID 19 muncul dengan cepat dalam skala global. Per Juni 2021, WHO melaporkan 178.118.597 kasus konfirmasi COVID-19 di seluruh dunia. Di Indonesia dilaporkan terdapat 1.989.909 kasus konfirmasi COVID-19 dengan 54.662 kematian. Dan di Jakarta, mencapai 479.043 kasus dengan 7.967 kematian akibat COVID-19.

Penularan COVID-19 terjadi melalui 2 cara, yaitu melalui droplet (saat batuk atau bersin) atau kontak erat dengan orang yang terinfeksi. Banyak faktor yang mempengaruhi penyebaran COVID-19, diantaranya faktor sosiodemografi dan kesehatan lingkungan. Yang termasuk faktor sosiodemografi adalah kepadatan populasi, tingkat pendidikan, dan status ekonomi. Faktor selanjutnya adalah faktor kesehatan lingkungan. Faktor ini dapat meningkatkan kerentanan seseorang dalam menghadapi pandemi COVID-19. Termasuk di dalamnya kualitas dan kuantitas air bersih, sanitasi, dan manajemen sampah sebagai faktor kesehatan lingkungan yang berpengaruh terhadap transmisi COVID-19.

Penelitian ini merupakan studi ekologi dengan unit analisis kecamatan. Populasi terdiri dari 44 kecamatan di lima kotamadya DKI Jakarta. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah angka kejadian COVID-19 per 10.000 penduduk di setiap kecamatan di Jakarta. Sedangkan yang menjadi variabel independen adalah faktor sosiodemografi dan faktor kesehatan lingkungan. Faktor sosiodemografi terdiri dari, tingkat pendidikan, kepadatan penduduk, pemukiman di bantaran sungai, dan keluarga yang tinggal di permukiman kumuh. Faktor kesehatan lingkungan dalam penelitian ini meliputi rumah tangga yang menggunakan air perpipaan (PAM), pengangkutan sampah oleh petugas, rumah tangga yang menggunakan jamban, dan rumah tangga yang memiliki lubang resapan sebagai pembuangan limbah cair. Data yang digunakan adalah Data Potensi Desa dari Badan Pusat Statistik tahun 2018 dan dianalisis menggunakan uji korelasi dan regresi linier.

Berdasarkan hasil kajian penelitian Dr. Zakianis dkk dari Departemen Kesehatan Lingkungan FKM UI dan hasilnya sudah dipublikasikan di jurnal One Health didapatkan bahwa rata-rata jumlah kasus terkonfirmasi positif per kecamatan di DKI Jakarta sebanyak 2.327 orang atau 1% dari jumlah penduduk. Angka kejadian COVID-19 terendah di Jakarta terdapat di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara (37,91 per 10.000 jiwa) dan tertinggi di Kecamatan Cempaka Putih (179,39 per 10.000 jiwa). Rata-rata proporsi penduduk berpendidikan menengah adalah 59% dan tingkat Pendidikan tinggi 17%. Rata-rata kepadatan penduduk di Jakarta mencapai 8.500 jiwa/km2 atau lebih dari 1000 jiwa/km2 yang termasuk kategori sangat tinggi. Rata-rata jumlah penduduk di permukiman kumuh adalah 6%. Proporsi rata-rata penggunaan jamban dan pengangkutan sampah oleh petugas menunjukkan hasil yang sangat baik, yaitu 100%. Proporsi air bersih tergolong buruk, hanya 40%. Demikan juga dengan proporsi ketersediaan lubang resapan sebagai tempat pembuhan limbah cair rumah tangga yang hanya 49%. Namun, proporsi penggunaan septic tank di Jakarta menunjukkan hasil yang baik, rata-rata mencapai 99%.

Ditemukan bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi berhubungan dengan kejadian COVID-19, dimana orang dengan tingkat pendidikan tinggi cenderung memiliki pekerjaan dan bekerja di area perkantoran. Selain itu, masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi umumnya memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik sehingga cenderung memiliki mobilitas tinggi. Orang yang berpergian ke luar rumah dapat meningkatkan risiko penularan dan penyebaran COVID-19.

Tingkat kepadatan penduduk berhubungan dengan kejadian COVID-19. Kepadatan penduduk yang tinggi membuat pencegahan melalui jaga jarak minimal 1,6 – 2 m sulit dilakukan sehingga meningkatkan penularan COVID-19. Ditemukan pula hubungan antara permukiman kumuh dengan kejadian COVID-19. Pemukiman kumuh dicirikan sebagai permukimam dengan akses air bersih yang tidak memadai, sanitasi tidak layak, kualitas perumahan yang buruk, kepadatan tinggi, dan status perumahan illegal yang dapat meningkatkan risiko penularan COVID-19. Hasil antara proposi rumah tangga dengan air perpipaan tidak menunjukkan hubungan dengan infeksi COVID-19. Hal ini dapat terjadi karena COVID-19 ditularkan melalui percikan/droplet, bukan air. Air mengalir dan sabun digunakan untuk mencuci tangan.

Berdasarkan penelitian ini, diperlukan pendekatan yaitu bagi penduduk dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, terutama yang memiliki aktivitas perkantoran dan mobilitas yang tinggi. Peraturan tentang pembatasan mobilitas perlu ditegakkan. Pemerintah di daerah kepadatan penduduk tinggi perlu meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menghindari keramaian dan menjaga kebersihan diri serta lingkungan dan melarang isolasi di rumah bagi pasien tanpa gejala COVID-19 dengan alternatif menyediakan tempat isolasi. Ke depannya, pemerintah didorong menata permukiman kumuh dan diharapkan dapat menyediakan perumahan yang layak dan terjangkau bagi masyarakat miskin.

 

Sumber:

Zakianis, Adzania, F. H., Fauzia, S., Aryati, G. P., & Mahkota, R. (2021). Sociodemographic and environmental health risk factor of COVID-19 in Jakarta, Indonesia: An ecological study. One health (Amsterdam, Netherlands), 13, 100303. https://doi.org/10.1016/j.onehlt.2021.100303